Alat Deteksi COVID-19 Buatan UGM Bisa Bantu Pemulihan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi

Makhluk kecil bernama virus kini menghantui semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Di sisi lain, pandemi Corona (COVID-19) menjadi momentum bagi negara-negara lain untuk memanfaatkan situasi di Indonesia.

“Indonesia merupakan negara besar dengan penduduk yang banyak, sehingga Indonesia bisa dibilang memiliki pasar yang besar bagi negara lain untuk mengambil keuntungan di masa pandemi,” ujar Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Alumni UGM, Prof Dr Paripurna Sugarda, Senin (28/9/2020).

Hal tersebut dia sampaikan dalam dalam acara diskusi KAGAMA Inkubasi Bisnis (KIB) XIV, bertajuk Pemulihan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi, yang digelar secara daring.

Alat Deteksi COVID-19 Buatan UGM
Alat Deteksi COVID-19 Buatan UGM

Merespons fenomena ini, dibutuhkan kolaborasi dan skema penta helix untuk merealisasikannya. Prinsip kolaborasi kata Paripurna sudah dimiliki Indonesia sejak lama, yang lebih dikenal dengan istilah gotong royong.

Belum lama ini, Fakultas MIPA dan FK-KMK UGM berkolaborasi menciptakan alat deteksi infeksi COVID-19 lewat hembusan nafas manusia bernama GeNoses. Alat ini dibuat dengan sistem artificial intelligent.

“Kelebihan GeNoses, alat ini mampu mendeteksi dalam jangka waktu yang pendek yaitu, 3 menit. Selain itu, alat ini dijual dengan harga yang murah. Dengan Rp 40 juta, alat ini bisa digunakan untuk mendeteksi lebih dari 100.000 orang,” pungkasnya.

Menurut Paripurna, alat ini turut mendukung fokus utama pemerintah di masa pandemi yakni, penanganan COVID-19 sekaligus pemulihan ekonomi.

Dengan prinsip gotong royong GeNoses dibuat dengan pola penta helix, yakni pembuatan alat yang didukung oleh kekuatan pemerintah, akademisi, masyarakat, dunia usaha, dan media.

GeNoses, kata Paripurna, bisa dipasang di setiap pasar dengan beberapa unit. Kemudian setiap orang sebelum masuk ke pasar harus dites dulu dengan GeNoses.

Jika deteksi menunjukkan adanya infeksi, maka orang tersebut langsung diarahkan untuk tes PCR. Bila hasilnya positif, orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri.

“Pasar merupakan grass root ekonomi rakyat. Kita bisa menolong ekonomi masyarakat dari lapisan paling bawah dulu, kemudian berkembang ke industri, vactory, toko, mall, pelabuhan, bandara, dan ruang publik lainnya,” ungkap alumnus Fakultas Hukum UGM itu.

GeNoses sudah melalui proses profiling test dengan akurasi 97 persen. Namun, alat ini masih perlu melalui proses diagnostic test. Paripurna menegaskan, GeNoses mendeteksi infeksi virus. Pembuktian positif dan negatif Covid-19 tetap menggunakan tes PCR.

Sebelumnya, UGM juga sudah mengembangkan ventilator RO3, yang saat ini sudah dalam proses pemasaran. Kemudian ada ventilator ICU yang saat ini sedang dalam proses uji klinis.

Dengan adanya produk dalam negeri seperti GeNoses dan ventilator RO3, maka Indonesia bisa mengurangi ketergantungannya terhadap produk-produk alat kesehatan impor.

Diketahui selama ini, ventilator yang diimpor Indonesia, memiliki usia yang tidak lama. Dalam waktu lima tahun, ventilator tersebut sudah harus diganti dengan ventilator yang lebih canggih.

Namun, Indonesia dalam upayanya mengembangkan produk dalam negeri, berusaha menciptakan ventilator yang bisa bertahan seumur hidup.

Paripurna berharap pemerintah bisa membantu UGM, dalam menciptakan alat-alat kesehatan dalam negeri, sehingga bisa bersaing dengan produk-produk impor. Hal ini berlaku juga bagi dunia bisnis secara umum.

“Saya berharap juga ada setiap kementerian menekan berbagai kepentingan, sehingga bisa bersama-sama melawan pandemi. Tidak bisa dipungkiri ego sektoral masih ada,”

“Kita perlu mengingat bahwa ada kepentingan bersama yang harus diwujudkan. Menjamin jalannya kegiatan perekonomian merupakan tujuan semua pihak,”tegasnya.

Bersamaan itu, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan pendekatan yang tepat kepada masyarakat, agar mematuhi protokol kesehatan.

“Pendekatan dengan sanksi pidana memang tidak banyak menolong. Saya rasa pendekatan kearifan lokal, seperti melibatkan masyarakat menjadi bagian dari penyelesaian masalah di masa pandemi lebih tepat diterapkan,”

“Demikian juga dengan media, yang diharapkan bisa mewartakan hal-hal positif untuk membantu menangani Covid-19,” tutur lulusan Universitas Groningen, Belanda ini.

Sumber: Sindonews

Beasiswa Mengajar Bahasa Indonesia di Perth, Australia Barat

Hai semua, apa kabar? semoga dalam keadaan sehal wal afiyat yah, aamiin. Bicara soal kesehatan, beberapa hari lalu saya mengunjungi teman satu kos (waktu kuliah) yang berasal dari jurusan Sastra Inggris UGM. Tentu untuk melepas rasa kangen setelah lebih dari satu tahun kita tidak berjumpa. FYI, kita sudah berteman dekat sejak awal masuk kuliah. Waktu itu kita bertemu saat registrasi mahasiswa baru jalur SNMPTN.

Semasa kuliah, doi terbilang cukup aktif berorganisasi. Selain masuk dalam himpunan mahasiswa jurusan, juga sering terlibat di organisasi kampus. Walaupun aktif di kegiatan non akademik, namun ia terbilang jarang mengulang mata kuliah.

Nah, di pertemuan kemarin, kita banyak cerita soal kesibukan masing masing. Mulai dari pendidikan, asmara, sampai pekerjaan. Kita menghabiskan waktu lebih dari 4 jam hanya untuk cerita dan canda tawa.

Dari sekian banyak cerita, ada satu hal yang sangat menarik. Yaitu keinginan besar dia untuk melancong ke Negara tetangga. Tapi dia tidak mau kalau cuma jalan jalan saja.

Kalau cuma berwisata, jam terbangnya sudah banyak. Mulai dari kegiatan Pertukaran Pelajar di China, Kegiatan di Turki, Rusia, dan masih banyak lagi.

Ia cerita banyak hal, mulai dari cerita tentang kuliner, bagaimana bahasa disana, bahkan sampai dialek unik bisa ditiru olehnya. Sebagai orang yang belum pernah ke luar negeri, mendengar ceritanya saja sudah kagum. Apalagi bisa kesampaian pergi ke luar negeri, pasti senang tentunya.

Mendaftar Program Lenguange Assistant Program

Nah, kebetulan pertengahan bulan Agustus lalu, dia mendapat informasi yang cukup menarik. Konsulat Jenderal RI di Australia membuka program LAP (Languange Assistant Program). Program ini berupa kegiatan mengajar Bahasa Indonesia di Australia Barat.

Doi cerita banyak hal soal keinginan besarnya buat lolos di program tersebut. Katanya, selain bisa jalan jalan ke kota Perth, dia juga bisa ikut andil mengajar budaya dan bahasa di sana. Tak hanya itu, peserta program tersebut juga akan mendapatkan honor/gaji senilai AU$ 1.400 per dua minggunya. Atau senilai 15 juta Rupiah tiap 2 minggunya.

Suasana Kota Perth di Australia
Suasana Kota Perth di Australia (sumber: beasiswa-id.net)

Dari sekian banyak penjelasan yang dia berikan, 90% alasan dia untuk mendaftar program ini bukan untuk gaji ataupun wisata. Tapi dia ingin memiliki kontribusi ke Negara. Tentunya lewat ilmu yang dia miliki melalui program LAP ini.

Dia juga sempat menunjukkan berkas pendaftaran di atas printernya. Mulai dari sertifikat penghargaan, keikutsertaan di organisasi, sampai ijazah lengkapnya ada di sana.

Di tumpukan paling atas, ada Sertifikat Kemampuan Bahasa Inggris yang nilainya sangat bagus. Dia sempat mengikuti tes IELTS di IDP Yogyakarta. Hasilnya, ia mendapatkan nilai 8. Sangat mengagumkan.

Baca: Info lengkap soal pendaftaran Program LAP 2021

Mengenalkan Budaya ke Manca Negara

Sebagai teman, saya sangat bangga melihat semangat kontribusi yang tinggi. Terlebih lagi dia “akan” mengenalkan budaya Indonesia di luar Negeri. Saya jadi ingat perkataan salah satu Presiden Amerika Serikat yang melegenda.

Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!

John F. Kennedy

Teman saya (akan) memberi kontribusi ke Negara berupa pengenalan budaya dan bahasa Indonesia di Negara lain.

Ilustrasi Mengajar di Australia (sumber: steemit.com)
Ilustrasi Mengajar di Australia (sumber: steemit.com)

Di akhir tulisan, saya ingin bertanya ke diri saya sendiri. Pertanyaan dasar yang mungkin sangat mudah dijawab. Teman teman juga bisa jawab pertanyaan ini di hati kalian.

Jawab dengan sungguh sungguh yah.

Lalu apa kontribusi saya ke Negara ini?